Penulis: Ikhwanul Halim, Wiselovehope, Wijatmoko Bintoro S., Rayhan Rawidh, Achmad Aditya Avery, Danu Supriyati, Lis Lilvina, Tari Abdullah, Fidèlé Amour, Alan Reis, Resi Bujangga, Anggun Caldarone, Alexis Z, Sri Wahyu Wardani, Ina Astuna Sari, Ahmad Maulana S, Mas Sam
Genre: Antologi, Puisi
13cmx19cm; 160 halaman, paperback
“Puisi adalah bisikan dari yang tak terlihat, gema dari yang tak terucap.” — Jalaluddin Rumi
Puisi adalah jalan sunyi yang sejak lama ditempuh manusia untuk berbicara dengan dirinya sendiri, dengan sesama, bahkan dengan semesta. Dalam setiap kebudayaan, dari padang pasir yang luas hingga lembah-lembah berhutan, dari kota kuno yang penuh menara hingga desa kecil di tepian sungai, selalu ada suara yang memilih kata-kata sebagai cara untuk bertahan, mengingat, dan mencipta. Dari suara itu lahirlah puisi, dan dari kerinduan yang tak pernah selesai tercipta pula puisi panjang—sebuah hamparan kata yang tidak terburu-buru, yang meminta pembaca berjalan perlahan, larik demi larik, seakan menyusuri jalan setapak menuju cakrawala.
Sejarah dunia mencatat, di gurun Timur Tengah yang berangin, para penyair menggubah qasidah. Mereka mengikat seratus bahkan lebih baris dalam satu rangkaian panjang, menyimpan pujian, ratapan, dan kisah perjalanan. Bait-bait itu tak hanya sekadar rangkaian kata, melainkan bendera yang dikibarkan di atas nama kabilah, penanda identitas dan kebanggaan. Setelah cahaya Islam terbit, qasidah menemukan jiwa baru: menjadi lagu kerinduan kepada Ilahi, menjadi lorong bagi para sufi untuk menuturkan rahasia cinta rohani. Bayangkan Rumi menari dalam putarannya, sementara bait-bait panjangnya membubung, memeluk langit yang abadi.
Di negeri Tiongkok, puisi panjang menjelma dalam bentuk fu—panjang, berliku, menyelipkan narasi dan deskripsi, bagai sungai yang mengalir tanpa henti. Fu adalah lukisan dengan kata-kata, tempat penyair memahat gunung dan sungai, menuliskan suara musim, menanamkan kritik yang samar di balik keindahan. Lebih jauh ke masa lalu, ada Qu Yuan, yang dalam Li Sao menulis kerinduan sekaligus penderitaan, mengubah puisi menjadi doa panjang yang melintasi zaman. “Hatiku terikat di jalan panjang, rindu tak kunjung padam,” tulisnya, seakan menyalakan pelita di tengah gelap agar manusia mengingat bahwa kata mampu menahan runtuhnya jiwa.
Di tanah Asia Tenggara, puisi panjang hadir dengan wajah lain. Di Jawa kuno, lahir kakawin—puisi panjang berbahasa Kawi yang bernapas bersama mitologi dan kosmologi. Arjunawiwaha atau Kakawin Ramayana bukan sekadar kisah kepahlawanan, melainkan taman kata tempat bangsa ini menanamkan jiwanya. Di Sumatra, lahir syair panjang yang dituturkan malam demi malam: tentang cinta yang getir, tentang perang, tentang perjalanan jiwa menuju Tuhan. Syair bukan hanya sastra. Dia adalah perahu kata yang menyeberangkan nilai, doa, dan cerita dari generasi ke generasi.
Indonesia modern pun mewarisi nyala itu. Chairil Anwar, meski lebih dikenal dengan bait pendek, menyalakan api keberanian yang mengilhami. W.S. Rendra dengan puisi panjangnya menjadikan kata sebagai panggung, tempat rakyat menemukan suara yang lama tertahan. Sutardji Calzoum Bachri, dengan kebebasan kata yang dia kumandangkan, membuka kemungkinan baru bagi puisi panjang untuk hidup bukan hanya dalam narasi, tapi juga dalam eksperimentasi bentuk. Mereka semua menunjukkan bahwa panjangnya puisi bukan sekadar hitungan baris, melainkan luasnya cakrawala makna yang ditawarkan.
Membaca puisi panjang ibarat melakukan perjalanan jauh. Dia tidak terbuka dalam sekali pandang, tidak selesai dalam sekali helaan napas. Dia menuntut kesabaran, seperti perjalanan menyeberangi samudra dengan layar, di mana angin membawa kita ke pelabuhan-pelabuhan tak terduga. Di setiap persinggahan, ada hikmah. Di setiap bait, ada bisikan yang bisa membuat kita berhenti, termenung, lalu berjalan lagi. Inilah keindahan yang tidak tergesa: sebuah undangan untuk berlama-lama bersama kata, untuk mendengar gema batin yang sering kali tak terdengar dalam riuh dunia.
Antologi ini hadir untuk merayakan perjalanan itu. Di dalamnya terkumpul suara-suara yang memilih jalan panjang, bukan karena ingin bertele-tele, melainkan karena mereka tahu: ada hal-hal yang tak bisa diringkas. Ada kerinduan yang butuh sungai kata untuk mengalir, ada luka yang hanya bisa dijahit oleh benang larik demi larik, ada cinta yang hanya bisa dilukis dengan horizon yang luas. Setiap penyair di sini menyumbangkan peta batinnya, dan antologi ini menjadi atlas kecil yang bisa kita jelajahi bersama.
Puisi panjang bukanlah peninggalan masa lalu yang berdebu. Dia hidup di tengah kita, sama seperti dahulu dia hidup di padang pasir, di tepi Sungai Yangtze, di keraton Jawa, di surau kecil Minangkabau. Bedanya, kini dia juga hidup di layar digital, di ruang-ruang diskusi, di hati siapa saja yang masih percaya bahwa kata mampu menampung dunia. Dia terus berubah, tapi hakikatnya tetap: dia adalah ruang di mana manusia bisa mendengar dirinya sendiri dengan lebih jernih, lebih dalam, lebih utuh.
Maka, marilah membuka halaman-halaman ini seperti membuka pintu perjalanan. Jangan terburu-buru. Biarkan kata-kata memandu langkah, biarkan larik-larik panjang menuntun kita memasuki ruang yang sunyi sekaligus bising, sederhana sekaligus rumit. Setiap bait adalah jejak, setiap larik adalah detak, dan keseluruhannya adalah napas panjang yang berusaha menyatukan kita dengan kehidupan itu sendiri.
Sebagaimana Rendra pernah berkata, “Puisi adalah suara hati nurani, yang tak boleh dibungkam oleh zaman.” Semoga antologi ini menjadi gema dari nurani itu—sebuah perjalanan panjang yang menautkan tradisi dengan masa kini, kata dengan jiwa, penyair dengan pembaca.
Selamat membaca, dan selamat berjalan di sepanjang jalan puisi.
I.H




